Full Description
Kesyirikan Pada Umat-Umat Terdahulu
] Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي
Dinukil dari Buku:
“Syirik pada Zaman Dahulu dan Sekarang” (1/389-393)
Syaikh Abu Bakar Muhammad Zakaria
Terjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2014 - 1435
شرك العبادة في الأمم السابقة
« باللغة الإندونيسية »
مقتبس من كتاب : الشرك في القديم والحديث
للشيخ أبو بكر محمد زكريا (1/ 389-393 )
ترجمة: عارف هداية الله أبو أمامة
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو
2014 - 1435
Kesyirikan Pada Umat-Umat Terdahulu
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah Shubhanahu wa ta’alla, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam teruntuk Rasulullah –Shallallahu 'alaihi wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du:
Bukan perkara rahasia, jika seorang hamba pasti membutuhkan yang namanya peribadatan, makanya tidak heran apabila kehidupan mereka tidak pernah sepi dari yang namanya ibadah.[1] Dikarenakan peribadatan dari seorang hamba merupakan kelaziman bagi mereka, hal itu karena ada dua hal pokok yang mendasarinya, yaitu, kefakiran dzat, walaupun dirinya seorang yang kuat dan bersemangat tinggi, tetap tidak akan mampu untuk melepas ibadah secara total, sama saja, apakah ibadahnya ditujukan kepada sesembahan yang benar ataukah kepada sesembahan yang batil.
Bahkan tidak berlebihan jika dikatakan ibadah merupakan kebutuhan pokok bagi manusia untuk keeksistensiannya, disadari ataupun tidak. Oleh karena itu, umat-umat terdahulu pasti mereka menjadi seorang hamba, entah itu sebagai hamba Allah azza wa jalla, sehingga dengan sebab itu masuk dalam barisan orang-orang yang bertauhid ataukah sebagai seorang hamba bagi mahkluk, selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang dengan sebab itu dirinya dimasukan kedalam golongan orang-orang yang berbuat syirik.
Dan yang nampak ditengah-tengah pemaparan kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu bahwa mereka secara garis besar banyak yang terjatuh dalam kesyirikan ibadah, dengan perbedaan kadar dan tingkat sesuai dengan masing-masing umat dan generasinya. Sedangkan bagi umat yang terjatuh dalam kesyirikan pada sebagian kekhususan rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla maka mereka juga tidak bisa terlepas dari yang namanya menyekutukan –Nya dalam ritual ibadahnya, sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kesyirikan dalam rububiyah mengharuskan untuk melakukan kesyirikan dalam ibadah, seperti halnya tauhid rububiyah melazimkan untuk mentauhidkan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan.
Sehingga dengan ini menjadi terang hakekat kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu yaitu ada pada perkara ibadah, dengan perbedaan kadar dan tingkat sesuai dengan masing-masing umat dan generasinya. Diantara mereka ada yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan manakala mereka beribadah kepada orang-orang sholeh yang ada ditengah-tengah mereka. Sebagiannya ada yang menyembah patung. Ada pula yang menyembah bintang dan benda-benda langit. Dan ada dikalangan mereka yang menyekutukan -Nya dengan menyembah/menuruti hawa nafsunya. Dan ada pula yang beribadah kepada pimpinan agama atau tokohnya.
Maksud dari penjelasan ini semua ialah menjelaskan kalau pembawaan syirik yang berada pada umat-umat terdahulu secara garis besar ada pada kesyirikan dalam ibadah. Dan orang-orang yang menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rububiyah -Nya, mau tidak mau akan mengantarkan mereka dari yang awal mulanya hanya menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam rububiyah yang pada akhirnya mereka juga akan terjatuh dalam kesyirikan dengan menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam peribadatan.
Dalam hal ini Syaikhul Islam menjelaskan, "Pokok kesyirikan yang telah dilakukan oleh Bani Adam berawal dari menyekutukan –Nya dengan manusia, yang dianggap sholeh dan diagungkan. Awalnya, ketika orang sholeh dan yang diagungkan tersebut meninggal maka kaumnya berdiam diri disisi kuburnya. Lalu perkaranya berkembang dengan melukis replika orang-orang tersebut kemudian mereka menyembahnya.
Inilah awal mula sejarah kesyirikan yang terjadi ditengah-tengah anak cucu Adam. Dan yang pertama kali melakukan ialah kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam".[2] Dalam kesempatan lain, beliau juga menerangkan, "Kesyirikan yang terjadi ditengah-tengah kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam bermula dari menyembah orang-orang sholeh, kemudian pada kaumnya nabi Ibrahim 'alaihi sallam berganti dengan kesyirikan menyembah benda-benda langit, semisal bintang, dimana mereka membuat arca bagi setiap bintang yang disembah sesuai dengan perkiraan dan hawa nafsunya yang dikira cocok dengan pembawaan bintang tersebut".[3]
Beliau juga menjelaskan, "Kaum musyrikin yang telah disifati oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dan rasul -Nya dengan menyekutukan –Nya, ada pada dua kelompok, pertama kaumnya nabi Nuh dan yang kedua kaumnya nabi Ibrahim. Awal mula kesyirikan mereka ialah berdiam diri di sisi kubur orang-orang sholeh, yang kemudian mereka membikin replikanya lalu menyembahnya. Adapun kaumnya nabi Ibrahim awal mula kesyirikan yang terjadi pada mereka ialah menyembah kepada bintang-bintang dilangit, matahari dan bulan".[4]
Nampak jelas dari perkataanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah diatas, bahwa beliau ingin menegaskan kepada kita kalau pangkal kesyirikan yang terjadi diumat-umat terdahulu ada pada dalam kesyirikan peribadatan dan uluhiyah, walaupun tidak menutup adanya kesyirikan pada sebagian mereka pada perkara-perkara khusus dalam rububiyah, akan tetapi bila dibandingkan dengan yang pertama jumlahnya sangat sedikit, bahkan lebih nyata lagi kalau diutusnya para rasul diantara tugas utama yang mereka emban ialah menyampaikan tauhid ibadah, dan mengingkari adanya kesyirikan dalam peribadatan.[5]
Dan jangan dipahami kalau kesyirikan itu hanya terbatas pada keyakinan adanya Tuhan selain Allah Shubhanahu wa ta’alla dialam semesta ini, yang memiliki kesamaan sifat dan perbuatan bersama -Nya. bahkan bisa kita pastikan kalau keyakinan ini pada asalnya tidak pernah diketahui sebelumnya oleh anak cucu Adam. Namun, kesyirikan yang terjadi dalam perkara rububiyah hanya ada pada sebagian kekhususan rububiyah saja tidak seluruhnya. Karena secara garis besar kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu ada pada syirik dalam ibadah.
Dengan ini menjadi terang kebodohan sebagian orang pada era modern ini yang tidak paham tentang hakekat kesyirikan. Hanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla kita memohon pertolongan. Dan sebelumnya kami telah paparkan secara rinci tentang praktek kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu. Barangkali melalui penelitian yang mendalam tersebut kita bisa simpulkan jika kesyirikan umat-umat terdahulu dalam perkara ibadah tersimpul pada beberapa perbuatan, diantaranya:
a. Menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan cara menyembah replika dan orang-orang sholeh. Dan ini merupakan tonggak sejarah kesyirikan untuk pertama kalinya, yang terjadi pada umat manusia. Yang dilakukan oleh kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam.
b. Perbuatan syirik dengan berdiam diri disisi kubur. Dan praktek kesyirikan ini juga untuk pertamanya dilakukan oleh kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam. Sebagaiman terjadi pula pada kaumnya nabi Ilyas 'alaihi sallam.
c. Perbuatan syirik dengan menyembah berhala. Praktek kesyirikan ini juga untuk pertamanya dilakukan oleh kaumnya nabi Nuh 'alaihi sallam. Sebagaimana di adopsi pula oleh kaumnya nabi Hud, Sholeh, sebagian kaumnya nabi Ibrahim, pada kaumnya nabi Yusuf, Syu'aib, Ilyas, dan kaumnya Musa setelah kematian beliau.
d. Menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan cara menyembah bintang-bintang dilangit. Dan praktek kesyirikan ini dilakukan oleh sebagian besar kaumnya nabi Ibrahim 'alaihi sallam.
e. Praktek kesyirikan dengan menyembah hawa nafsu. Dan ini dilakukan oleh kaumnya nabi Luth 'alaihi sallam.
f. Menyekutukan Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan cara beribadah kepada para pembesar dan binatang. Seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Musa 'alaihi sallam semasa hidupnya dan setelah kematian beliau. Sebagaimana pula seperti yang Allah Shubhanahu wa ta’alla ceritakan kepada kita tentang keberadaan para pembesar pada kebanyakan umat manusia.
g. Praktek kesyirikan dengan menyembah tokoh agama, pendeta atau pastur. Praktek ini secara jelas bisa dilihat pada kebanyakan kaumnya nabi Musa dan nabi Isa 'alaihima sallam.
h. Perbuatan syirik dengan menyembah para nabi dan rasul. Contoh nyatanya adalah seperti yang dilakukn oleh kaumnya nabi Musa 'alaihi sallam dengan menyembah Uzair. Dan kaumnya nabi Isa 'alaihi sallam dengan menyembah dirinya.
Intinya, bahwa kebanyakan syirik yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu ada pada peribadatan. Adakalanya dengan menyerahkan kekhususan ilahiyah kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau dengan menyamakan makhluk dengan perkara yang murni menjadi kekhususan -Nya semata. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, "Maksudnya bahwa pangkal kesyirikan dimuka bumi ini ada pada peribadatan kepada orang-orang sholeh, dan menyembah replikanya….diantara praktek kesyirikan ada yang pangkalnya menyembah bintang-bintang dilangit, ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan yang lainnya, lalu membuat arca sebagai simbol bagi bintang-bintang tersebut. Dan kesyirikan yang dilakukan oleh kaumnya nabi Ibrahim 'alaihi sallam dari jenis ini atau sebagiannya ada yang seperti ini.
Ada lagi yang pangkal kesyirikannya dengan menyembah malaikat dan jin, yang para pelakunya membikin patung untuk mereka. Kalaupun tidak dengan membuat patung yang tidak mereka sembah namun karena adanya keyakinan yang serupa dengan peribadatan".[6]
Dengan ini kita telah merampungkan pembahasan kesyirikan yang terjadi pada umat-umat terdahulu, berikutnya akan kami jelaskan kesyirikan yang terjadi pada kaum Jahiliyah dan arab.
[1] . Lihat penjelasannya secara panjang lebar dalam Majmu Fatawa 1/21, 43, 46, 965. Ibnu Taimiyah. Dan dalam kitab Thariqul Hijratain hal: 7, Ightsatul Lahfan 1/28 Ibnu Qoyim.
[2] . Majmu Fatawa 14/363.
[3] . Ibid.
[4] . Majmu Fatawa 1/157. ar-Ra'du alal Manthiqiyin hal: 285-286. Ibnu Taimiyah.
[5] . Majmu Fatawa 3/397. Dar'u Ta'arudh Aql wa Naql 1/224-226. Ibnu Taimiyah.
[6] . Majmu Fatawa 17/460 Ibnu Taimiyah.