×
Risalah singkat menjelaskan tentang makna sihir, hakikat dan hukumnya dalam islam serta hukuman bagi orang yang melakukan sihir, kemudian dibawakan juga tentang fatwa-fatwa lembaga tetap riset ilmiyah dan fatwa KSA , juga fatwa para ulama saudi tentang hukum sihir dan tukang sihir dalam islam.

    Hukum keras Bagi

    Penyihir

    ( باللغة الإندونيسية )

    Disusun Oleh:

    Dr. Muhammad bin Fahd bin Ibrahim al-Wad'an

    Tarjamah:

    Team Indonesia

    Murajaah :

    Abu Ziyad

    الزاجر في عقوبة الساحر

    إعداد:

    الدكتور/محمد فهد إبراهيم الودعان

    ترجمة:

    الفريق الإندونيسي

    مراجعة:

    إيكو أبو زياد

    Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah

    المكتب التعاوني للدعوة وتوعية الجاليات بالربوة بمدينة الرياض

    1429 – 2008

    Hukuman Keras Bagi Penyihir

    بِسْــــــــمِ اللَّــهِ الرَّحْمَــنِ الرَّحِيـــمِ

    قال الله تعالى:

    وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

    Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah:102)

    Pengantar

    Segala puji bagi Allah I yang telah memberi petunjuk kepada kita untuk ini, dan tidaklah kita mendapat petunjuk jikalau Allah I tidak memberi petunjuk kepada kita. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, nabi kita Muhammad ﷺ‬ yang sangat dipercaya, dan terhadap keluarganya, sahabatnya, dan orang yang mengikutinya dengan kebaikan hingga hari pembalasan.

    Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan sesuatu dengan-Mu yang kami mengetahuinya, dan kami meminta ampun kepada-Mu bagi sesuatu yang kami tidak mengetahuinya.

    Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, berlebihan kami dalam perkara kami, tetapkanlah kaki kami, tautkanlah di atas hati kami, jadikanlah kami di atas bashirah (ilmu) dari perkara dunia dan agama kami, janganlah Engkau serahkan kami sekejap mata pun kepada diri kami, dan jangalah Engkau jadikan kami sebagai cobaan bagi orang-orang zalim.

    Amma Ba'du:

    Sesungguhnya syari'at agama Islam mencakup keharusan memelihara lima perkara (dharuriyat al-khams): jiwa, agama, keturunan, akal, dan harta, dan memandang pelecehan terhadap sesuatu darinya merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan faktor-faktor kelestariannya, bahkan memandangnya sebagai tindakan kriminalitas berat yang pantas mendapat hukuman di dunia dan akhirat.

    Sungguh, Islam menghadapi penyimpangan yang tergambar dalam pelecehan lima perkara yang terdahulu dengan cara tersendiri yang berbeda dengan semua pelanggaran terhadap undang-undang atau peraturan apapun.

    Ketika Islam melarang salah satu perkara dan menganggapnya sebagai tindakan kriminalitas yang pelakunya harus mendapat hukuman, maka sesungguhnya ia melarang segala sesuatu yang membawa kepada perbuatan tersebut atau mendorongnya, dan menetapkan sangsi yang paripurna, adil, kasih sayang, serta menjamin menyusutnya (berkurangnya) fenomena tindakan kriminal, di saat terjadinya, dan membatasinya dalam ruang lingkup paling sempit, dan bertujuan untuk memperbaiki pelaku tindakan kriminal dan mengancam yang lain agar tidak terjerumus dalam tindakan kriminal, menjaga kepentingan orang banyak, mendorongnya berperilaku dengan akhlak yang utama, menjauhkan diri dari akhlak dan perilaku buruk yang merusak kehidupan individu, mengganggu ketenangan mereka, dan menyebabkan bahaya terhadap aqidah dan tatanan mereka, bahkan mempengaruhi kehidupan individu dan harta mereka dan memperburuk kehormatan dan perasaan mereka. Dan karena alasan itulah, disyari'atkan hukum qishash, disyari'atkan hukum hadd, dan disyari'atkan hukum ta'zir yang diserahkan kepada waliyul amir (pemerintah) untuk membatasi dari fenomena kriminalitas dan menjaga masyarakat dari kejahatannya.

    Dan judul kita ini –dalam beberapa lembar ini- tentang hukuman salah satu tindakan kriminal yang berbahaya di tengah masyarakat, sesungguhnya ia adalah hukuman terhadap sihir atau tukang sihir, yang jika dibiarkan tentu akan mencabik-cabik masyarakat, dan menghilangkan segala makna kebaikan, keadilan, cinta, keamanan dan keselamatan.

    Pembahasan ini mencakup: pengantar, tamhid, tiga macam pembahasan, tiga sisipan, penutup, daftar ini referensi dan semua judul.

    Tamhid ini mencakup pengertian 'uqubah (hukuman) secara secara etimologi dan terminologi.

    Kemudian diikuti pembahasan pertama: pengertian sihir. Pembahasan kedua: hukum sihir. Dan pembahasan ketiga: hukuman untuk tukang sihir.

    Kemudian ditutup pembahasan ini dengan fatwa Lajnah Daimah (anggota tetap) di kerajaan Saudi Arabia, ditambah fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin –rahimahumallah tentang hukuman bagi tukang sihir.

    Dengan ini aku memohon kepada Allah I, agar menjadikan perbuatan ini ikhlas karena Zat-Nya I Yang Maha Pemurah, dan memberikan manfaat kepada penulisnya, pembacanya, yang mempublikasikannya, dan setiap orang yang punya andil untuk menerbitkannya, dan hanya Allah I yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.

    Ditulis oleh

    Muhammad bin Fahd bin Ibrahim al-Wad'an

    Riyadh, 1422 H.

    Pendahuluan

    Pengertian hukuman yang mencakup atas:

    Pertama: pengertian hukuman secara etimologi

    Kedua: pengertian hukuman secara terminologi

    Pengertian hukuman

    Pertama: pengertian hukuman secara etimologi:

    'Uqubah (hukuman) secara bahasa (etimologi) berasal dari kata 'aaqaba –yu'aaqibu –'uquubah, dan 'aaqabtul lishsha mu'aaqabatan wa 'iqaaba, dan dalam bentuk isim al-'uqubah.[1]

    Dan al-'uqb (dengan dhammah 'ain kemudian sukun qaaf), dan al-'Uqub (dengan dhammah dua huruf): artinya al-'aqibah (kesudahan)[2], dan termasuk dalam makna ini adalah firman Allah I:

    هُوَ خَيْرٌ ثَوَابًا وَخَيْرٌ عٌقْبًا

    Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.[3]

    Al-'Iqaab: al-'uquubah, wa qad 'aqabtuhu di dzanbihi (aku telah menghukumnya karena dosanya). Dan firman Allah I:( فَعَاقَبْتُمْ)

    Maksudnya: maka kamu mendapatkan harta ghanimah.[4] Dan 'aaqabahu, artinya datang di belakangnya, fahuwa mu'aaqbun wa 'aqiib (maka dia yang mengikuti). Dan al-'uqba: balasan perkara, dan 'aaqabahu bi dzanbih (dia menghukumya karena dosanya), dan ta'aqqabtur rajul; maksudnya aku menangkapnya karena dosanya.[5]

    Maka 'uqubah digunakan atas pembalasan yang manusia dihukum dengannya atas perbuatan maksiat.

    Kedua: Pengertian 'uqubah secara istilah (terminologi):

    Uqubah didefinisikan dalam terminologi syara' dengan definisi yang sangat banyak, di antaranya:

    1. Ibnu 'Abidin[6] -dari ulama mazhab Hanafi- mendefinisikan: bahwa ia adalah penghalang sebelum melakukan, ancaman sesudahnya. Maksudnya, dengan mengetahui syari'atnya menghalangi keberanian melakukan dan terjerumusnya sesudahnya menghalangi kembali kepadanya.[7]

    2. al-Mawardi[8] –dari ulama mazhab Syafii- mendefinikan: sesungguhnya ia adalah ancaman yang diletakkan oleh Allah I untuk menghalangi melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan yang diperintahkan.[9]

    3. Abdul Qadir 'Audah[10] mendifinikan 'uqubah: yaitu hukuman yang ditetapkan untuk kepentingan orang banyak atas pelanggaran terhadap perintah syari'.[11]

    Dan yang tergambar dari definisi-definisi tersebut adalah bahwa ia datang untuk hukuman secara umum, sama saja hukuman yang segera –di dunia- atau yang tertunda –di akhirat-. Maka pantas bahwa definisi itu dikaitkan dengan hukuman di dunia, untuk mengeluarkan pembalasan di akhirat yang tidak mengetahuinya kecuali Allah I. Sebagaimana definisi yang ketiga membatasi hukuman dalam pembalasan yang ditetapkan untuk mashlahat, padahal ia adalah pencegah untuk pelaku kriminal, penghalang baginya dari terjerumus dalam tindakan kriminal atau maksiat, sebagaimana ia menjadi penghalang bagi orang lain, di samping merupakan penebus dosanya.

    Dengan demikian, definisi yang dipilih untuk 'uqubah' di dalam syara' adalah: balasan di dunia yang ditetapkan syara', ditujukan kepada pelaku kejahatan terhadap pelanggaran perintahnya atau larangannya untuk kepentingan jama'ah (orang banyak).

    Penjelasan definisi tersebut:

    Balasan di dunia: satu bagian dalam definisi, mengandung semua balasan, sama saja dari hukum Allah I atau dari hukum produksi manusia.[12] Balasan di akhirat keluar dari definisi ini, yang hanya diketahui oleh Allah I.

    ditetapkan syara': mengandung semua jenis hukuman ('uqubah) yang ditentukan Allah I, seperti hudud, atau qishash, atau ta'zir. Dan sesuatu yang ditentukan oleh manusia, berupa undang-undang dasar dan semisalnya tidak termasuk dalam definisi ini.

    ditujukan kepada pelaku kejahatan:

    maksudnya orang yang melakukan tindakan kejahatan (kriminalitas) secara langsung, atau ikut serta di dalamnya, atau menyebabkan baginya. Selain pelaku kejahatan keluar dari definisi ini, maka hukuman tidak ditujukan kepadanya.[13]

    terhadap pelanggaran perintahnya atau larangannya:

    maksudnya, karena meninggalkan perintah Allah I atau melanggar larangan-Nya.

    untuk kepentingan (mashlahat) jama'ah (orang banyak):

    yang dimaksud dengan mashlahat adalah tiga perkara:

    1. Pencegah bagi pelaku kejahatan: dari terjerumus dalam tindakan kriminalitas atau maksiat. Maka sesungguhnya apabila ia membayangkan balasan yang akan terjadi dengannya, maka biasanya ia menjadi penghalang atau penjegah dari terjerumus di dalamnya.

    2. Penghalang bagi selain pelaku kriminil: sesungguhnya orang yang melihat hukuman terhadap pelaku kejahatan karena perbuatan jahat yang dilakukannya, maka sesungguhnya jiwanya menahannya dan mengembalikannya dari terjerumus pada sesuatu yang orang lain terjerumus padanya.

    3. Membersihkan pelaku kejahatan: apabila ia terjerumus dalam tindakan kejahatan dan dilaksanakan hukuman atasnya, maka hukuman itu menjadi penebus dan pembersih dosanya

    Dan atas dasar pengertian ini, maka hukuman itu bisa di dunia atau di akhirat.

    Hukuman akhirat adalah balasan dan hukuman yang tidak mengetahuinya selain Allah I. Dan bisa pula:

    1) Hukuman selama-lamanya: yaitu hukuman yang ditetapkan Allah I untuk orang-orang kafir dan munafik,

    2) dan hukuman sementara: yaitu hukuman yang ditetapkan oleh bagi orang-orang yang durhaka, dari orang-orang yang bertauhid, yang meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, di atas perbedaan di antara mereka dalam berat dan ringannya hukuman.

    Dan hukuman duniawi: bisa jadi 1) Hukuman yang sudah ditentukan: yaitu yang ditentukan oleh Syari', seperti hudud atau qishash, yaitu yang sudah ditentukan dari sisi syara', secara jenis dan ukuran. Di mana tidak boleh ditambah atasnya atau dikurangi. 2) Hukuman yang tidak ditentukan: yaitu yang tergambar dalam hukuman ta'zir (hukuman supaya jera/kapok). Dan jenis ta'zir dan ukurannya kembali kepada ijtihad hakim (pemerintah, qadhi) menurut kebutuhan dan mashlahat. Dan hal itu karena perbedaan jenis kejahatan dan perbedaan waktu dan tempat. Maka boleh hukuman ta'zir ditambah padanya dan dikurangi menurut pandangan hakim, yang sesuai kondisi pelaku kejahatan dan cukup untuk membuat dia jera.

    Dan ta'zir terkadang bisa sampai kepada hukum dibunuh, apabila mashlahat menuntutnya dan kerusakan tidak tertolak kecuali dengannya.[14]

    Pembahasan pertama:

    Pengertian sihir:

    Dan mencakup atas:

    Pertama: Pengertian sihir secara bahasa

    Kedua : pengertian sihir secara istilah

    Pengertian sihir

    Pertama: pengertian sihir secara etimologi:

    Sihir: yaitu mengeluarkan kebatilan dalam rupa kebenaran.[15] dan sihir adalah ukhzhah (mantra-mantra, jampi-jampi), dan setiap yang halus tempat mengambilnya adalah sihir, dan saharahu yashuruhu sihraa.[16]

    Dan sihir juga berarti: penipuan, dan termasuk dalam arti ini ucapan penyair:

    فَإِنْ تَسْئَلِيْنَ فِيْمَا نَحْنُ فَإِنَّنَا عَصَافِيْرُ مِنْ هذَا اْلأَنَامِ الْمُسَحَّرِ

    Maka jika engkau meminta kepada kami pada sesuatu yang ada pada kami, maka sesungguhnya kami

    Merupakan burung-burung kecil (pipit) dari manusia yang tertipu ini.

    Sepertinya ia menghendaki yang tertipu, yang terperdaya oleh dunia dan tipuannya.[17]

    Kedua: Pengertian sihir dalam terminologi:

    Sihir adalah: ucapan yang disusun untuk membesarkan (mengagungkan) selain Allah I dan disandarkan kepadanya padanya segala ketentuan alam.[18]

    Dan sihir juga diberikan definisi: bundalan-bundalan, ruqyah-ruqyah dan kata-kata yang dibacakan padanya atau ia menulisnya atau mengerjakan sesuatu yang memberikan pengaruh pada diri yang terkena sihir atau hatinya (jantungnya) atau akalnya, secara tidak langsung baginya.[19]

    Pembahasan Kedua

    Hukum Sihir

    Hukum Sihir

    Sihir diharamkan, melakukannya hukumnya haram, dan termasuk dosa besar.[20] Dalil haramnya adalah berdasarkan al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma'.

    Dari al-Qur`an: firman Allah I:

    وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

    Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:" Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah:102)

    Ayat tersebut menunjukkan haramnya sihir, dan ia juga diharamkan dalam ajaran agama semua rasul 'alaihimussalam.[21] Sebagaimana firman Allah I:

    وَلاَيُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى

    Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang". (QS. Thaha:69)

    Dan dari sunnah:

    Sabda Rasulullah ﷺ‬:

    اجْتَنِبُواْ السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّذِي حَرَّمَهُ اللهُ إِلاَّ باِلْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

    "Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.' Ada yang bertanya, wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau ﷺ‬ menjawab, 'Menyekutukan Allah I, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah I kecuali dengan benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, berpaling di hari peperangan, menuduh berzina kepada wanita yang menjaga diri lagi beriman.'[22]

    Al-Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam shahihnya dalam Kitab ath-Thibb, Bab: syirik dan sihir termasuk yang membinasakan:[23] kemudian ia menguraikan hadits Abu Hurairah t, bahwasanya Rasulullah ﷺ‬ bersabda: "Jauhilah yang membinasakan: syirik (menyekutukan) Allah I dan sihir."

    Dan dari ijma':

    Para ulama ijma' (konsensus) atas haramnya sihir dan sesungguhnya belajar sihir dan mengajarkannya adalah haram.[24]

    Pembahasan kedua

    Hukuman Perbuatan Sihir

    Apabila dalam perbuatan sihir ada ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran, maka penyihir itu dihukum mati karena murtadnya. Dan jika padanya ada sesuatu yang menuntut bahwa ia telah membunuh jiwa seseorang yang dipelihara dengan sihirnya, ia dihukum bunuh sebagai qishash, jika ia mengakui (iqrar) bahwa ia telah membunuh dengan sihirnya, dan pendapat ini sudah disepakati (ittifaq para ulama).[25]

    Adapun jika ia melakukan sihir dan tidak mendatangkan padanya dengan sesuatu yang menyebabkan kafir –maksudnya tidak menyakini pengaruhnya- dan tidak terjadi darinya sesuatu yang menyebabkan had (hukuman) murtad (keluar dari islam) dan qishash, maka dalam kondisi ini, para ulama berbeda pendapat:

    Pendapat pertama:

    Sesungguhnya ia dibunuh karena semata-mata perbuatan sihirnya secara absolot (mutlak), dan ini adalah pendapat mazhab Maliki,[26] Hanbali,[27] dan dipilih oleh al-Lajnah ad-Da`imah di Saudi Arabi[28], dan ini adalah pendapat mayoritas para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in: 'Umar bin Khattab t, Utsman bin Affan t, Ibnu Umar t, Hafshah, Jundub bin Abdullah t, Qais bin Sa'ad, Umar bin Abdul Aziz, dan diriwayatkan dari Abu Tsaur dan Ishaq.[29]

    Ibnu Hubairah rahimahullah berkata: 'Apakah tukang sihir dibunuh hanya semata-mata perbuatan sihirnya? Malik dan Ahmad berkata: Ya. Dan asy-Syafii dan Abu Hanifah berkata: Tidak.'[30]

    Dalil-dalil mereka:

    1. Dalil secara umum dalam firman Allah I:

    وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ

    Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Merek mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (QS. al-Baqarah:102)

    Sisi pengambilan dalil: ayat ini menunjukkan kafirnya tukang sihir secara mutlak (absolot), maka sihir itu dinamakan kafir dan orang kafir itu dihukum bunuh (maksudnya: yang murtad).[31]

    2. Hadits yang berbunyi:

    حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ

    "Hukum bagi tukang sihir adalah ditebas dengan pedang.'[32]

    Dan mereka berdalil dengan ucapan Umar t: 'Bunuhlah setiap tukang sihir, laki-laki dan perempuan.' Ia berkata,'Maka kami membunuh tiga orang tukang sihir.'[33]

    3. dan dengan riwayat bahwa budak wanita dari Hafshah ummul mukminin radhiyallahu 'anha telah menyihirnya, maka ia mengakui hal itu, maka dia (Hafshah) menyuruh Abdurrahman bin Zaid (agar membunuhnya) maka ia membunuhnya.[34]

    4. dan mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan dari Jundub bin Ka'ab t,[35] sesungguhnya ia telah membunuh tukang sihir yang ada di sisi al-Walid bin Uqbah.[36]

    5. Mereka berkata: 'Dan perbuatan Umar t dikenal masyarakat luas, maka tidak ada yang mengingkari, maka ia merupakan ijma'.[37]

    Pendapat yang kedua:

    Penyihir dihukum ta'zir yang berat yang membuatnya jera, dan ta'zir itu tidak sampai ia dihukum bunuh, ini adalah pendapat mazhad Syafii,[38] Zhahiriyah,[39] dan satu riwayat dalam mazhab Hanbali.[40]

    Dan mereka mengambil atas pendapat tersebut dengan beberapa dalil, di antaranya:

    1. Sabda Nabi ﷺ‬:

    لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإْحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ باِلنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

    "Tidak halal darah seorang muslim (dibunuh) yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah I dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah I, kecuali karena salah satu di antara tiga sebab: pertama orang yang pernah menikah kemudian berzina, kedua membunuh kemudian dibalas bunuh, ketiga orang yang meninggalkan agamanya (murtad) dan meninggalkan jamaahnya."[41]

    Mereka berkata: maka tukang sihir bukanlah orang kafir, bukan pembunuh, dan bukan pezinah yang sudah pernah menikah, maka tidak dibolehkan darahnya kecuali apabila ia melakukan salah satu di antara tiga yang telah disebutkan. Maka tidak boleh membunuhnya hanya karena semata-mata perbuatan sihirnya, karena ia tetap dihormati darahnya.[42]

    2. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha menjual budak perempuan mudabbar (yang dijanjikan merdeka setelah majikannya meninggal dunia) yang telah menyihirnya,[43] jika boleh membunuhnya niscaya tidak boleh menjualnya.[44]

    3. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ‬ tidak membunuh orang yang telah menyihirnya, yaitu Labid bin al-A'sham, maka seorang mukmin juga harus seperti itu, karena sabda Nabi ﷺ‬: 'Untuk mereka apa-apa yang diberikan untuk kaum muslimin dan atas mereka apa-apa yang dibebankan atas mereka.'[45] Mereka berkata: Sungguh Allah I telah memberitahukan kepada Rasul-Nya orang yang telah menyihirnya, maka beliau ﷺ‬ tidak membunuhnya. Jika had tukang sihir adalah dibunuh niscaya Rasulullah ﷺ‬ melakukan hal itu, dan demikian pula Ummul mukminin sesudah beliau.[46]

    4. Dan mereka berkata: dan sesungguhnya Allah I menggambarkan para penyihir bahwa mereka memisahkan di antara seseorang dengan istrinya, maka dikhususkan kafir dengan mereka dan tetaplah para penyihir lainnya atas dasar dipelihara (darahnya), maka ia diberi hukuman ta`zir yang berat, tidak sampai dibunuh, karena ia telah melakukan maksiat, jika membahayakan, ia diberi hukuman menurut kadar mudharatnya.[47]

    Pendapat Ketiga:

    Penyihir dihukum ta'zir dan bisa mencapai hukum bunuh, ini adalah pendapat mazhab Hanafi[48] dan satu pendapat dalam mazhab Hanbali.[49] Dan alasan pendapat ini: mereka berkata: karena menolak bahayanya terhadap manusia, dan karena ia berjalan di muka bumi dengan berbuat kerusakan, maka ia dibunuh sebagaimana hukum para perampok.[50]

    Pendapat Keempat:

    Ia ditahan sebagai hukum ta'zir sampai ia bertaubat, kembali, dan menahan kejahatannya dari manusia. Dan pendapat ini dikutip dari imam Ahmad.[51] Dan sebagian ulama Hanafi berkata: Ia ditahan dan dipukul hingga bertaubat.[52]

    Dan alasan pendapat ini adalah: karena sesungguhnya ia menyamarkan perkaranya atas manusia, maka kesudahan dari ditahannya penyihir adalah mengasingkannya dari masyarakat dan mempersempit ruang geraknya, agar tidak tersebar kebatilannya di antara orang-orang kaya dan masyarakat umum dengan tujuan mendapatkan harta mereka. Maka apabila ia telah bertaubat, menyesal, dan keadaannya menjadi baik, ia dikeluarkan dari penjara, agar dia ikut serta membangun masyarakat dengan jalan-jalan dan metode yang lurus.[53]

    Dialog:

    Dialog pendapat pertama yang mengatakan bahwa hukumannya adalah dibunuh secara mutlak:

    1. Dalil mereka dengan ayat dijawab: Sesungguhnya Allah I berfirman:يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ (Mereka mengajarkan sihir kepada manusia )'Mereka mengajarkan' adalah permulaan kalimat, bukan badal. Dan jika benar merupakan badal niscaya ia bukan merupakan hujjah, karena hal itu adalah berita dari Allah I bahwa hal itu adalah hukum para syetan setelah hari-hari Sulaiman u. Dan syari'at itu tidak wajib terhadap kita, dan hukum Allah I pada para syetan keluar dari hukum kita. Dan firman Allah I:

    ( وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ ) (sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". )juga bukan merupakan hujjah bagi mereka padanya, sesungguhnya dalam hal ini adalah larangan terhadap kufur secara umum, dan keduanya tidak berkata: maka janganlah kamu kafir dengan mengajarkan sihir dan tidak pula dengan pengetahuanmu terhadap sihir. Maka pendapat mereka ini adalah tambahan dalam al-Qur`an yang tidak ada di dalamnya dan tidak ada dalil atasnya.[54]

    2. Dan dijawab tentang hadits: حَدُّ السَّاحِرِ ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ (Hukum bagi tukang sihir adalah ditebas dengan pedang.) ini adalah hadits dha'if (lemah), karena ia dari riwayat Ismail bin Muslim, dia dha'if, maka tidak ada hujjah padanya.[55] Dan Ibnu Hazm berkata –setelah memaparkan hadits dari jalur al-Hasan secara mursal –sesungguhnya ia adalah hadits mursal dan tidak ada hujjah pada hadits mursal. Dan jika shahih maka tidak ada hubungannya sama sekali, karena padanya had penyihir ditebas dengan pedang, dan bukan membunuhnya, dan pukulan bisa tidak tepat maka hanya melukainya saja dan kadang bisa membunuh. Maka mereka telah menyalahi nash ini dan mewajibkan membunuhnya.[56]

    3. Adapun atsar dari Umar t, maka dijawab: sesungguhnya hukumnya padanya menurut ijtihadnya yang tidak terdapat dalam al-Qur`an dan tidak pula dari Sunnah, sebagaimana ia menyalahi pendapat Aisyah radhiyallahu 'anha, maka gugurlah ketergantungan mereka dengan pendapat Umar t.[57]

    4. Adapun hadits Hafshah radhiyallahu 'anha: maka dijawab: sesungguhnya tidak ada hujjah dalam pendapat seseorang tanpa ada dalil dari Rasulullah ﷺ‬, sebagaimana telah shahih menyalahi yang demikian itu dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha.[58]

    Dialog pendapat kedua yang mengatakan bahwa hukumannya adalah ta'zir dan tidak sampai dihukum bunuh:

    1. Dalil mereka dengan hadits:

    (Tidak halal darah seorang muslim…) dijawab darinya: sesungguhnya hadits tersebut bersifat umum dan riwayat bahwa penyihir dihukum bunuh bersifat khusus, maka yang umum dibawakan kepada yang khusus, dan hadits-hadits bahwa penyihir dihukum bunuh dikhususkan baginya, sebagaimana sihir dipandang keluar dari agama dan meninggalkan jamaah. Karena alasan inilah tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkari orang yang membunuh penyihir di antara mereka, maka hal ini dipandang sebagai ijma' atas mengamalkan yang diriwayatkan secara khusus dalam had penyihir, dan dalil yang khusus memutuskan atas yang umum.[59]

    2. Dalil mereka dengan riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha:

    Pertama: Andaikan riwayat itu memang shahih, maka sesungguhnya ia tidak bisa menjadi hujjah, karena ia adalah perbuatan sahabat yang bertentangan dengan nash yang marfu' dan mayoritas sahabat berbeda dengan pendapatnya, maka pendapat mayoritas tidak bisa ditinggalkan hanya karena pendapat satu orang.[60]

    Kedua: andaikan hadits itu shahih, maka ditanggungkan bahwa jariyah itu bukan penyihir sesungguhnya, artinya ia pergi kepada seorang penyihir yang menyihirnya, maka ia merupakan perbuatan selain dia.[61]

    Ketiga: ada kemungkinan bahwa sihirnya adalah dengan meletakkan obat-obatan yang berbahaya dan semisal yang demikian itu yang perbuatannya tidak dipandang sihir secara etimologi.[62]

    Adapun dalil mereka bahwa Rasulullah ﷺ‬ tidak membunuh Labid ketika ia menyihir beliau ﷺ‬, maka dijawab tentang dalil tersebut dengan dua jawaban:

    Pertama: memandang hal itu sebagai dalil berdasarkan sabda beliau ﷺ‬: 'Bagi mereka apa-apa yang diperuntukkan bagi kaum muslimin dan atas mereka apa-apa yang dibebankan atas kaum muslimin' maka dijawab: sesungguhnya ini adalah pengambilan dalil yang tidak bisa diterima, hadits yang disebutkan pendapat ini tidak berarti ahli kitab. Maka yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang yang tunduk bagi agama Islam, yang mengucapkan dua kalimah syahadat dan konsekuensinya, mereka menjadi islam secara hukum, dan ahli kitab tidak termasuk dari mereka. Ucapan ini tidak bisa dikatakan kepada ahli kitab kecuali dalam beberapa perkara yang sangat terbatas. Ditetapkan untuk mereka dengan membayar jizyah sebagai imbalan jaminan keamanan atas diri, keluarga, dan harta mereka saat di muqim dan bepergian, bukan dalam semua perkara. Maka perbedaan di antara kaum muslimin dan ahli zimmah sangat luas.[63]

    Kedua: adapun Labid menyihir Nabi ﷺ‬ dan sesungguhnya beliau ﷺ‬ tidak membunuhnya, bahkan tidak mencelanya, dan untuk menjawabnya ada beberapa macam:[64]

    a. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ‬ tidak membunuhnya karena dia seorang munafik, maka Rasulullah ﷺ‬ ingin agar tidak memberikan pengaruh buruk atasnya, karena ia memberikan pengaruh kebencian terhadap orang yang menampakkan keislaman, sekalipun nampak darinya apa-apa yang nampak.

    b. Sesungguhnya Nabi ﷺ‬ tidak membunuh Labid bin al-A'sham karena dia ﷺ‬ tidak membalas dendam untuk dirinya sendiri, dan karena dia khawatir apabila membunuhnya bahwa terjadinya fitnah (kekacauan) di antara kaum muslimin dan para sekutunya dari kalangan Anshar, dan ia termasuk alasan kenapa beliau ﷺ‬ tidak membunuh orang-orang munafik.

    c. Atau beliau tidak membunuhnya agar manusia tidak lari dari agama islam.

    Adapun ucapan mereka (sesungguhnya sifat kufur khusus bagi para penyihir orang-orang kafir, dan karena dia melakukan maksiat maka ia diberi hukuman menurut kadar mudharatnya…) dijawab: sesungguhnya hal itu batil dari dua sisi[65]:

    Salah satunya: sesungguhnya mereka tidak mengetahui sihir, dan hakikatnya bahwa ia adalah ucapan yang disusun, yang diagungkan selain Allah I, dan disandarkan kepadanya ketentuan taqdir dan alam semesta.

    Kedua: sesungguhnya Allah I menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa perbuatan sihir adalah kafir, dan sesungguhnya Dia I berfirman:

    وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ) ) (Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman) dari sihir, padahal Sulaiman u tidak kafir dengan mengucapkan sihir, akan tetapi syetan-syetan itu kafir dengannya dan dengan mengajarkannya, dan Harut dan Marut mengatakan: sesungguhnya kami hanya sebagai cobaan maka janganlah engkau kafir, dan ini menguatkan bagi penjelasan.

    Tarjih: Pendapat yang rajih bahwa penyihir adalah dibunuh secara mutlak dan tidak disuruh bertaubat, sekalipun ia melakukan sihir dan tidak melakukan yang menyebabkan kufur, dan hal itu karena yang berikut ini:

    Sebab-sebab tarjih:

    Pertama: karena kuatnya dalil pendapat pertama dan jelasnya dalam mengambil dalil atas wajib membunuhnya.

    Kedua: karena hukuman membunuh penyihir adalah perbuatan sahabat radhiyallahu 'anhum dan tabi'in yang sesudah mereka, maka hal itu dipandang sebagai ijma' dari mereka atas mengamalkan hadist yang diriwayatkan dalam hal itu. Dan perbuatan Umar t dengan membunuh para penyihir secara mutlak adalah shahih. Hal itu merupakan syahid (penguat) terbaik bagi hadits Jundub t dalam had penyihir. Dan seperti ini diriwayatkan dari Hafshah radhiyallahu 'anha dan persetujuan Utsman t bagi mereka. Demikian pula Jundub t membunuh penyihir dan riwayatnya kuat. Dalil-dalil cukup dalam menetapkan had bagi penyihir dan sesungguhnya hukumannya adalah dibunuh secara mutlak dan tidak diminta bertaubat, karena tidak ada riwayat tentang hal itu dari para sahabat.

    Asy-Syanqithi rahimahullah berkata: 'Maka atsar-atsar ini, yang tidak diketahui adanya seorang pun dari sahabat yang mengingkarinya, serta didukung hadits marfu' yang disebutkan merupakan hujjah bagi yang mengatakan penyihir dihukum bunuh secara mutlak. Hadits dan atsar-atsar yang disebutkan merupakan dalil bahwa ia dibunuh, sekalipun sihirnya tidak sampai kepada batas kufur, karena penyihir yang dibunuh oleh Jundub t, sihirnya hanya berupa sya'wazhah dan mengambil dengan semua mata sehingga dikhayalkan kepadanya bahwa ia memotong kepala seorang laki-laki dan kenyataannya berbeda, dan ucapan Umar t 'Bunuhlah setiap penyihir' menunjukkan bahwa hal itu bersifat umum.'[66]

    Kemudian asy-Syanqithi rahimahullah berkata: dan yang nampak di sisiku, sesungguhnya penyihir yang sihirnya tidak sampai kufur dan tidak membunuh manusia dengannya, sesungguhnya ia tidak dihukum bunuh, berdasarkan nash-nash yang qath'i (pasti) dan ijma' atas dipeliharanya darah kaum muslimin secara umum kecuali dengan adanya dalil yang jelas. Dan membunuh penyihir yang tidak kafir dengan sihirnya dan tidak ada suatu riwayat dari Nabi ﷺ‬ serta memberanikan diri terhadap darah kaum muslimin tanpa adanya dalil yang shahih dari al-Qur`an dan Sunnah yang marfu' tidak nampak menurut pendapatku –dan hanya Allah I yang mengetahui, padahal pendapat dengan membunuhnya secara mutlak sangat kuat karena perbuatan sahabat tanpa ada yang mengingkarinya.[67]

    Asy-Syaukani rahimahullah mengutip dari Imam Malik rahimahullah, ia berkata, 'Malik berkata, 'Penyihir adalah kafir dihukum bunuh dan tidak disuruh bertaubat, tidak diterima taubatnya, bahkan harus dibunuh.'[68]

    Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, 'Aku mendengar bapakku berkata, 'Apabila hal itu diketahui, lalu ia mengaku, penyihir itu dihukum bunuh.'[69]

    Ketiga: sesungguhnya pendapat yang membedakan di antara penyihir yang perbuatan sihirnya menyebabkan kufur dan tidak adalah pemisahan tanpa alasan. Sihir tidak mungkin kecuali dengan meminta tolong kepada syetan. Maka tidak ada alasan memberikan perincian atau membedakan dalam hukumnya. Firman Allah I: وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia (QS. al-Baqarah:102) ayat tersebut menjelaskan bahwa sihir adalah dari ajaran syetan, dan tidak merinci antara sihir yang satu dengan yang lain, ia bersifat mutlak.

    Adapun pendapat: bahwa apabila ia tidak membunuh manusia, sesungguhnya ia tidak dibunuh, maka dijawab dengan jawaban Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah: 'Dan penyihir, tidak sempurna sihir baginya, syetan tidak mengabarkan yang gaib kepadanya, tidak membantunya membunuh seseorang kecuali setelah menyembah selain Allah I dengan memberikan sesuatu kepada syetan yang mereka sukai berupa menyembelih untuk mereka dan sejenisnya. Hingga sesungguhnya sebagian mereka bisa melakukan perbuatan keji dengannya. Ini termasuk istimta' yang disebutkan dalam firman Allah I: رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ:"Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari pada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain). (QS. al-An'aam:128) maka ia adalah kafir. [70]

    Keempat: sesungguhnya pendapat dengan membunuh penyihir secara mutlak, tanpa diminta bertaubat adalah pendapat yang sesuai kaidah syara' dan menolak kerusakan serta menutup pintu kekacuan, karena penyihir berbuat kerusakan dimuka bumi, dan kerusakan mereka termasuk yang terbesar. Bahkan jika mereka dibiarkan tanpa dihukum bunuh, niscaya kejahatan mereka mancabik-cabik semua masyarakat, memisahkan keluarga,[71] menggelisahkan ketenangan mereka, merusak kehidupan mereka, merusak akidah mereka dan terkadang membawa kepada perbuatan jahat terhadap kehormatan mereka.

    Dan karena dalam membunuh mereka, manusia selamat dari kejahatan mereka, takut bersandar kepada mereka, dan dari melakukan sihir.

    Dari penjelasan terdahulu, jelas bagi kita bahwa sihir dengan semua jenisnya diharamkan dalam semua syara', disepakati atas haramnya dan haram belajarnya. Ia menyalahi ajaran para rasul dan bertentangan sebab-sebab diturunkan kitab-kitab.

    Dan atas dasar ini, maka pendapat yang shahih bahwa penyihir adalah kafir, sama saja ia meyakini haramnya atau tidak. Maka semata-mata melakukan perbuatan sihir adalah kafir. Inilah yang ditunjukkan oleh dhahir dalil-dalil dan nash-nash dan tidak ada nash lain yang bertentangan dengannya. Firman Allah I: وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ (padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Dan firman Allah I: وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ (sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir). Maksudnya dengan perbuatan sihir, maka pastilah bahwa ini adalah kafir. Karena inilah Allah I berfirman dalam ayat berikutnya:

    وَلَوْ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertaqwa, (QS. al-Baqarah :103). Maka tidak ada dalil atas disyaratkan meyakini bolehnya sihir atau tidaknya. Maka ketika sudah pasti sifat sihir atas seseorang, maksudnya: apabila sudah pasti atasnya dengan pengakuannya atau adanya saksi atas hal itu, maka ia harus dibunuh dan yang mengurus pembunuhan hukum bunuh terhadapnya adalah pemerintah atau yang menduduki posisinya, karena bila yang melakukan hal itu bukan pemerintah akan berakibat rusak dan kacaunya keamanan dan hilangnya wibawa pemerintah. Wallahu A'lam.

    Tambahan yang meliputi:

    Pertama: Fatwa Lajnah Daimah

    Kedua : Fatwa Syaikh Bin Baz

    Ketiga: Syaikh Ibnu Utsaimin

    Pertama: Fatwa Lajnah Daimah tentang hukum terhadap penyihir

    Lajnah Daimah lil Buhutsil Ilmiyah di Kerajaan Saudi Arabia[72] tentang had atau hukum terhadap penyihir? Maka Lajnah menjawab:

    "Apabila penyihir melakukan dengan sesuatu yang menyebabkan kufur, ia dibunuh karena murtadnya secara had. Dan jika sudah pasti bahwa ia membunuh dengan sihirnya kepada jiwa yang dijaga, ia dihukum bunuh secara qishash. Dan jika ia tidak mendatangkan dalam sihirnya dengan yang menyebabkan kafir atau tidak membunuh jiwa, maka dalam membunuh dengan sihirnya ada perbedaan pendapat, dan pendapat yang shahih bahwa ia dibunuh secara had karena murtadnya, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad rahimahumullah, karena ia menjadi kafir dengan perbuatan sihirnya secara mutlak, berdasarkan ayat:

    وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ

    Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia (QS. al-Baqarah:102)

    Atas kafirnya penyihir secara mutlak. Dan karena riwayat dalam shahih al-Bukhari, dari Bujalah bin Abdah, ia berkata, 'Umar bin Khaththab t menulis: 'Bahwa bunuhlah setiap penyihir, laki-laki dan perempuan.' Maka kami membunuh tiga orang penyihir. Dan riwayat yang shahih dari Hafshah Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anha, sesungguhnya ia menyuruh membunuh jariyahnya (budak perempuan miliknya) yang telah menyihirnya, lalu ia dibunuh.' Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa`. Dan karena riwayat dari Jundub t, sesungguhnya ia berkata, 'Had penyihir adalah ditebas dengan pedang. HR. at-Tirmidi dan ia berkata, 'Yang shahih bahwa ia adalah mauquf.'

    Atas dasar ini, maka hukum penyihir yang ditanyakan dalam permohonan fatwa adalah dibunuh menurut pendapat yang shahih dari semua pendapat para ulama. Dan yang berhak menetapkan sihir dan hukuman itu adalah penguasa yang mengurus perkara kaum muslimin, karena menolak kerusakan dan menutup pintu kekacauan.

    Kedua: Fatwa Samahah Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang hukuman penyihir

    Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata dalam pertanyaan yang diajukan kepada beliau: 'Di masa sekarang banyak perbuatan sihir dan mendatangi para penyihir, apakah hukum hal itu dan apakah jalan yang dibolehkan untuk mengobati orang yang terkena sihir?

    Sihir termasuk dosa besar yang membinasakan, bahwa ia termasuk yang membatalkan islam… hingga beliau berkata: para ulama berbeda pendapat pada hukum penyihir, apakah ia disuruh bertaubat dan diterima taubatnya atau dibunuh dalam kondisi apapun dan tidak disuruh bertaubat apabila dipastikan sihir atasnya? Dan pendapat kedua adalah yang benar, karena masih hidupnya dia membahayakan masyarakat Islam dan biasanya tidak benar dalam bertaubat, dan karena masih hidupnya ia merupakan bahaya besar terhadap kaum muslimin. Dan yang berpendapat seperti ini berhujjah bahwa Umar t menyuruh membunuh para penyihir dan tidak meminta mereka bertaubat, dan dia t adalah khalifah rasyidah yang kedua, yang Rasulullah ﷺ‬ menyuruh mengikuti sunnah mereka.

    Dan mereka berhujjah pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah dari Jundub bin Abdullah al-Bajali, dari Jundub al-Khair secara marfu' dan mauquf: 'Dan had penyihir adalah menebasnya dengan pedang', dan sebagian rawi membacanya dengan huruf ta`, ia membaca: 'Had penyihir adalah tebasan dengan pedang'. Dan yang shahih menurut pendapat para ulama adalah mauqufnya hadits tersebut atas Jundub.

    Dan shahih riwayat dari Hafshah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha, sesungguhnya ia menyuruh membunuh jariyahnya yang telah menyihirnya, lalu ia dibunuh tanpa disuruh bertaubat.

    Imam Ahmad rahimahullah berkata: 'Telah tetap hal itu, maksudnya membunuh penyihir, tanpa disuruh bertaubat dari tiga orang sahabat Nabi ﷺ‬, maksudnya adalah Umar t, Jundub t, dan Hafshah radhiyallahu 'anha.

    Dan dengan penjelasan yang telah kami sebutkan, sesungguhnya tidak boleh mendatangi penyihir dan bertanya kepada mereka tentang apapun juga, dan tidak boleh membenarkan mereka, sebagaimana tidak boleh mendatangi para peramal dan dukun. Dan sesungguhnya yang wajib adalah membunuh penyihir apabila sudah pasti ia melakukan sihir dengan pengakuannya atau saksi secara syar'i, tanpa harus diminta bertaubat.

    Adapun mengobati sihir maka diobati dengan ruqyah syar'iyah dan obat-obat bermanfaat yang dibolehkan…dst.[73]0

    Ketiga: Fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah tentang hukuman terhadap penyihir

    Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata –dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau: Apakah penyihir dibunuh karena murtad atau hadd?

    "…dan wajib membunuh para penyihir, sama saja kita katakan dengan sebab kafirnya mereka atau karena besarnya bahaya mereka dan kejinya perbuatan mereka. Mereka memisahkan di antara seseorang dengan istrinya. Demikian pula sebaliknya, maka mereka membuat kasih sayang, maka menyatukan di antara para musuh, dan menyampaikan dengan hal itu kepada tujuan mereka. Sebagaimana jikalau ia menyihir perempuan agar berzinah dengannya. Maka penguasa harus membunuh mereka tanpa menyuruhnya bertaubat, selama ia adalah hadd, karena apabila had telah sampai kepada imam/pemimpin, pelakunya tidak diminta bertaubat, bahkan dilaksanakan dengan segala kondisi…

    Hingga beliau berkata: 'Maka pendapat dibunuhnya penyihir sesuai dengan kaidah syara', karena mereka berbuat kerusakan di muka bumi, dan kerusakan mereka adalah yang terbesar. Dan apabila mereka dibunuh, manusia selamat dari kejahatan mereka dan manusia merasa takut dari melakukan sihir.'[74]

    Dan beliau –rahimahullah- berkata di tempat yang lain: 'Dan karena alasan inilah penyihir dihukum bunuh, bisa jadi karena murtad dan bisa pula secara had. Jika sihir atas cara yang dia kafir dengannya, maka dia dibunuh karena murtad dan kufur, dan jika sihirnya tidak sampai kepada derajat kufur maka ia dibunuh secara had, karena menolak kejahatan dan gangguannya terhadap kaum muslimin.'[75]

    Penutup

    Setelah pemaparan yang singkat dan ringkas ini dalam judul hukuman terhadap perbuatan sihir, jelaslah bagi kita yang berikut ini:

    Pertama: Sesungguhnya hukuman adalah balasan dunia yang telah ditetapkan syara', terhadap pelaku tindakan kriminal, atas pelanggaran terhadap perintahnya atau larangannya untuk kepentingan jamaah.

    Kedua: Sesungguhnya sihir diharamkan dan melakukannya adalah haram dan termasuk dosa besar, dan sudah menjadi ijma' atas haramnya dan sesungguhnya mempelajari dan belajarnya adalah haram.

    Ketiga: Apabila dalam sihir ada perkataan atau perbuatan yang menyebabkan kufur, dia dibunuh karena murtadnya. Dan jika padanya ada yang menuntut bahwa ia telah membunuh dengan sihirnya terhadap jiwa yang dijaga, ia dibunuh secara qishash, jika ia mengakui bahwa ia telah membunuh dengan sihirnya, dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.

    Keempat: Sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan sihir dan tidak mendatangkan padanya dengan sesuatu yang menyebabkan kafir, maksudnya tidak meyakini pengaruhnya, dan tidak terjadi darinya sesuatu yang menyebabkan had murtad dan qishash, maka dalam hal ini ia dibunuh karena semata-mata perbuatan sihirnya secara mutlak –yaitu pendapat yang rajih-, ia adalah mazhab Malikiyah dan Hanabilah, dan pendapat dipilih oleh Lajnah Daimah lil Buhust al-Ilimiyah wa al-Ifta` di Saudi Arabia. Hal itu karena kuatnya dalil-dalil yang diberikan yang berpendapat ini dan jelasnya dalam dalil atas wajibnya membunuhnya.

    Inilah –hanya Allah I saja yang paling mengetahui kebenaran- dengan nikmat-Nya sempurna segala kebaikan, dan segala puji bagi Allah I Rabb semesta alam, dan semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi-Nya yang terpercaya.

    Ditulis oleh Muhammad bin Fahd bin Ibrahim al-Wad'an.

    Riyadh 1422 H.

    [1] Al-Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharibi asy-Syarh al-Kabir karya al-Rafi'i (2/420).

    [2] Ar-Razzi, Mukhtar ash-Shihah (hal. 186).

    [3] QS. al-Kahf:44)

    [4] Al-mumtahanah: 11

    [5] Al-Jauhari, Taju al-'Arus dan shihah al-'arabiyah (ash-Shihah) (1/166), dan al-Fauruzabadi, al-Qamus al-Muhith (1/203).

    [6] Muhammad Amin bin Umar bin Abdul Aziz bin 'Abidin ad-Dimasyqa, ulama fiqih negeri Syiria, imam ulama mazhab Hanafi di zamannya. Lahir dan wafat di Damaskus. Di antara karya-karyanya adalah: Raddul Mukhtar ala ad-Durrul Mukhtaar (Hasyiyah Ibnu Abidin), ar-Rahiqul Makhtuum fi al-Fara`idh,, wafat pada tahun 1252 H. al-Zirikli: al-A'laam (6/42).

    [7] Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtaar 'ala ad-Durr al-Mukhtaar syarh Tanwir al-Abshar (hasyiyah Ibnu Abidin) (4/165) dan Ibnu al-Hammam, Fath al-Qadir (5/212).

    [8] Ali bin Muhammad bin Habib Abu al-Husain al-Mawardi al-Bashri asy-Syafii, dari ulama mazhab Syafii, pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Dilahirkan pada tahun 364 H dan wafat tahin 450 H. di antara karya-karyanya adalah: al-Hawi, Adab al-Qadhi, adab ad-Dunya wa ad-Diin. Ibnu Qadhi Syahbah: Thabaqat asy-Syafi'iyah (1/230), Ibnu al-'Imaad: Syadzarat adz-Dzahab (3/2859).

    [9] Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayat ad-Diniyah hal. 221.

    [10] Abdul Qadir 'Audah: seorang pengacara dari ulama syari'at islam di Mesir. Salah seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin yang dibunuh oleh Jamal Abdul Nashir bersama para pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya pada tahun 1374 H dalam sebuah tuduhan palsu yang buat-buat terhadap mereka, dan investigasi menetapkan bebasnya mereka dari semua tuduhan itu. Di antara karya-karyanya adalah: al-Islam wa audha'una al-Qanuniyah, dan al-Tasyri' al-Jina`i. al-Zirikli: al-A'lam (4/24).

    [11] 'Audah, al-Tasyri' al-Jina`I (1/609).

    [12] Al-Luhaibi, al'Uqubaat at-Tafwidhiyah wa ahdafuha fi dhau`I al-kitab wa as-sunnah (hal. 37).

    [13] Referensi yang sama.

    [14] Lihat: Ibnu Rusyd: Bidayah al-Mujtahid (2/395), Ibnu Taimiyah: al-Hisbah (hal 59) dan Majmu' al-Fatawa (4/601), (28/108-109), Audah: at-Tasyri' al-Jina`I (1/634), dan Abu Zahrah: al-'Uqubah (hal. 52-63)

    [15] Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah (hal. 485).

    [16] Al-Jauhari, ash-Shihah (2/485).

    [17] Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah (hal. 485).

    [18] Ibnu al-'Arabi: Ahkam al-Qur'an (1/31).

    [19] Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/299).

    [20] An-Nawawi: Raudhah ath-Thalibin (9/346), al-Anshari: Asna al-Mathalib (4/82), al-Wansyirini: al-Mi'yar al-Mu'arrab (12/55), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/300), azh-Zhahabi: al-Kaba`ir (hal. 15) dosa besar yang ketiga, Ibnu Abdul Wahab: Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid (hal. 316).

    [21] Ibnu Wahhab: Fath al-Majid (hal. 316) .

    [22] HR. al-Bukhari dalam Shahihnya hal. 563 no. 2766 dalam kitab washaya, bab firman Allah I:

    إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا {10}

    Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisaa`:10)

    Dan Muslim dalam shahihnya hal. 60, no. 89, kitab al-Iman, bab al-Kaba`ir wa akbaruha, ini adalah lafazhnya, dari Abu Hurairah t.

    [23] Al-Bukhari dalam Shahihnya (hal. 1017-1018) no. 5764 dalam kitab ath-Thibb, bab Syirik dan sihir termasuk yang membinasakan.

    [24] Ibnu Abidin: Radd al-Mukhtaar (4/226) dan Ibnu Quddamah: al-Mughni ( 12/300).

    [25] Al-Jashshash: Ahkam al-Qur`an (1/74), Ibnu Abidin: Radd al-Mukhtar (4/226), ad-Dardiir: asy-Syarh al-Kabir (4:302), al-Ubbi: Jawahir al-Iklil (2/205), Ibnu Hajar: Fath al-Bari (10/236), al-Anshari: Asna al-Mathalib (4/82), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/300) dan Ibnu al-Murthadi: al-Bahr az-Zikhar (5:204).

    [26] Ibnu Jazi: al-Qawanin al-Fiqhiyah (hal. 240) dan ad-Dardiir: asy-Syarh al-Kabir (4/302).

    [27] Ibnu Katsir: Tafsir al-Qur`an al-Kariim (1/141), al-Karmi: Ghayah al-Muntaha fi al-Jami'i baina al-Iqna` wa al-Muntaha (3/344), Ibnu Quddamah : al-Mughni (12/302).

    [28] Al-Lajnah ad-Da`imah: al-Fatawa (1/551) pertanyaan no. 4804.

    [29] Ibnu al-Hammam: Fath al-Qadir (6/99), al-Jashshash: Ahkam al-Qur`an (1/74), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/300), Ibnu Taimiyah: Majmu' al-Fatawa (28/346), dan (29/384), dan Ibnu al-Qayyim: Zaad al-Ma'ad (5/62).

    [30] Ibnu Katsir mengutipnya dalam Tafsir al-Qur`an al-'Adzim (1/141).

    [31] Al-Qurthubi: al-Jami' li Ahkam al-Qur`an (1/48).

    [32] HR. at-Tirmidzi dalam sunannya (4/49) no. 1460 dalam kitab al-Hudud, bab tentang hukuman bagi penyihir. At-Tirmidzi berkata: Ini adalah hadits yang tidak kami kenal secara marfu' kecuali dari jalur ini, dan Ismail bin Muslim al-Makki didha'ifkan dalam hadits, ad-Daraquthni dalam sunannya (3/90) no. 3179 dalam kitab hudud dan diyat secara yang lainnya, dan muhaqqiq mendha'ifkan sanadnya, ia berkata: padanya ada Ismail bin Muslim al-Makki, dha'if dalam hadits. Lihat: Ibnu Hajar: Taqrib at-Tahdzib hal. 49, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/360) dalam kitab al-Hudud, bab hukuman tukang sihir adalah ditebas dengan pedang. Al-Hakim berkata: Ini adalah hadits yang shahih secara isnad, sekalipun dua syaikh meninggalkan hadits Ismail bin Muslim, maka sesungguhnya ia gharib shahih, dan baginya ada syahid yang shahih atas syarat keduanya, semuanya berlawanan ini, dan adz-Dzahabi menyetujuinya dalam at-Talkhish (4/360), ia berkata: Shahih Gharib, sekalipun Ismail telah ditinggalkan, dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/242) no. 16968) dalam kitab al-Qasamah, bab kafirnya tukang sihir dan dibunuh, jika sihir yang lakukan adalah ucapan kafir yang nyata, al-Baihaqi berkata: Ismail bin Muslim adalah dha'if. Semuanya dengan lafazh ini, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (11/396) dengan lafazh (hukum tukang sihir adalah ditebas dengan pedang) dengan huruf Ha` dari jalur Ismail bin Muslim, dari al-Hasan, dari Jundub secara marfu', kecuali Ibnu Hazm meriwayatkan dari al-Hasan secara mursal.

    [33] Ibnu Abi Syaibah: al-Mushannaf (6/583), Kitab al-Hudud, bab apa yang mereka katakan pada tukang sihir, apa yang diperbuat dengannya, dari Amr bin Dinar, sesungguhnya ia mendengar Bajalah berkata, 'Aku adalah penulis/sekretaris Jaz` bin Mu'awiyah, maka datanglah kepada kami surat Umar bin Khattab t: bahwa bunuhlah …dst, maka ia menyebutkannya, dan diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (1/190, 191), Abu Daud dalam Sunannya (4/431) no. 3043, dalam kitab al-Kharaj dan Imarah, Bab mengambil jizyah dari kaum Majusi, al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/241) no. 16966 dalam kitab al-Qasamah, Bab mengkafirkan tukang sihir dan membunuhnya, jika sihir yang dilakukan merupakan ucapan kufur yang nyata.

    [34] Malik: al-Muwaththa` (4/249) no. 1689 dari kitab al-'Uqul, bab ma jaa`a fi al-Ghilah wa as-Sihr, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (11/ 394) dan ini adalah lafazhnya, al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/241) no. 16967 dalam kitab al-Qasamah, bab mengkafirkan tukang sihir dan membunuhnya jika sihir yang dilakukan merupakan ucapan kufur yang nyata.

    [35] Dia adalah Jundub al-Khair al-Azdi, Abu Abdullah, pembunuh tukang sihir, diperselisihkan apakah dia seorang sahabat atau bukan. Ada yang berpendapat dia putra Ka'ab, ada pula yang berpendapat dia adalah putra Zuhair. Ibnu Hibban menyebutkannya termasuk golongan tabi'in yang tsiqat. Abu 'Ubaid berkata: Ia terbunuh dalam perang Shiffin. Ibnu Hajar: Taqrib at-Tahzib hal. 82.

    [36] Ibnu Abi Syaibah: al-Mushannaf (6/583) dalam kitab al-Hudud, bab apa yang mereka katakan pada tukang sihir, apa yang dilakukan dengannya, al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/242) no. 16969, dalam kitab Qasamah, bab mengkafirkan tukang sihir dan membunuhnya, ini adalah lafazhnya, dan kelengkapannya, kemudian ia berkata:

    أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ

    maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya" (QS. al-Anbiyaa`:3)

    [37] Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/303).

    [38] An-Nawawi: Syarh Shahih Muslim (13/176), al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (4/83), dan asy-Syarbini dalam Mughni al-Muhtaaj (2/176).

    [39] Ibnu Hazm: al-Muhalla (11/394).

    [40] Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/302), di mana dia berkata: dan imam Syafii tidak berpendapat atasnya (tukang sihir) untuk dibunuh hanya karena perbuatan sihir, dan ia adalah pendapat Ibnu al-Mundzir dan satu riwayat dari imam Ahmad. Dan lihat: al-Mardawi: al-Inshaf (10/23), dan Ibnu Abdul Wahab: Fath al-Majid hal. 322.

    [41] HR. al-Bukhari dalam Shahihnya hal. 1443, no. 6878 dalam kitab diyat, bab firman Allah I (al-Maidah: 45), ini adalah lafazhnya, dan Muslim dalam shahihnya hal 119, no. 1676, dalam kitab al-Qasamah, bab yang dibolehkan dengannya darah seorang muslim.

    [42] Ibnu Hazm: al-Muhall (11/400), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/302).

    [43] HR. al-Baihaqi dalam al-Kubra 12/245 no. 16974 dalam kitab al-Qasamah, bab orang yang perbuatan sihirnya bukan perbuatan kafir dan tidak membunuh seseorang, ia tidak dibunuh.

    [44] Ibnu Quddamah: al-Mughni 12/302, dan asy-Syanqithi: Ahdwa` al-Bayan 4/461.

    [45] Bagian dari hadits riwayat Ahmad dalam musnad (3/199, 225), an-Nasa`i dalam sunannya 7/76 no. 3967 dalam kitab haramnya darah, telah menceritakan kepada kami Harun bin Muhammad bin Bakkar.

    [46] Ibnu Hazm: al-Muhalla 11/401, ar-Razi: Tafsir al-Kabir 3/216, dan hadits bahwa Nabi ﷺ‬ telah disihir oleh Labid bin al-A'sham diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya hal. 667 no. 3268, dalam kitab permulaan makhluk, bab sifat iblis dan tentaranya, dan pada hal. 648 no. 3175, dalam kitab jizyah dan muwada'ah, bah apakah dimaafkan dari kafir dzimmi apabila ia menyihir? Dan di hal. 1237 no. 5765 dalam kitab ath-Thibb, bab apakah dikeluarkan sihir? Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya hal. 1202 no. 2189 dalam kitab Salam, bab sihir.

    [47] Al-Bahuti: Kasysyaf al-Qinaa' 6:237.

    [48] Al-Jashshash: Ahkam al-Qur`an 1/74, Ibnu al-Hammam: Fath al-Qadir 4/408, Tharablusi: Mu'in al-Ahkam hal. 193, dan Ibnu 'Abidin: Radd al-Mukhtaar 4/426.

    [49] Al-Mardawi: al-Inshaaf 10/263, 264.

    [50] Ath-Tharablusi: Mu'in al-Ahkam hal. 193.

    [51] Ibnu Quddamah: al-Mughni 12/305.

    [52] Ibnu al-Hammam: Fath al-Qadir 4/218.

    [53] Ibnu Quddamah: al-Mughni 12/305 dan Abu Ghudah: Ahkam as-Sijn hal. 253.

    [54] Ibnu Hazm: al-Muhalla 11/398, 399.

    [55] Ibnu Quddamah: al-Mughni 12/302.

    [56] Ibnu Hazm: al-Muhalla 11/398.

    [57] Idem 11/ 397.

    [58] Idem.

    [59] Al-Jashshash: Ahkam al-Qur`an (1/61-63), asy-Syanqithi: Adhwa al-Bayan (4/460-462), dan al-Ghamidi: 'Uqubah al-Ma'dum (hal. 590).

    [60] Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/302) dan al-Ghamini: 'Uqubah al-Ma'dum (hal. 590).

    [61] Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/302)

    [62] Al-Hamd: Kitab as-Sihr baina al-Haqiqah wa al-Khayal hal 169.

    [63] Al-Hamd: Kitab as-Sihr baina al-Haqiqah wa al-Khayal hal 169.

    [64] Ibnu Hajar menyebutkan jawaban-jawaban ini dalam Fath al-Bari (10/283-290).

    [65] Ibnu al-'Arabi: Ahkam al-Qur`an (1/48).

    [66] Tidak ada alasan memberikan perincian dalam hukum penyihir, karena sihir tidak mungkin kecuali dengan meminta pertolongan syetan, seperti yang akan datang penjelasanannya, karena para penyihir tidak bisa sampai kepada sihir kecuali dengan menyembah syetan dan mendekatkan diri kepada mereka dengan sesuatu yang mereka suka, berupa doa, menyembelih, nadzar, meminta pertolongan dan selain yang demikian itu. Dan disebutkan dalam hadits shahih –yang terdahulu- bahwa syirik dan sihir termasuk tujuh perkara yang membinasakan. Syirik adalah yang terberat karena ia adalah dosa terbesar, dan sihir termasuk bagian dari syirik, karena alasan inilah Rasulullah ﷺ‬ menyertakannya dengannya.

    [67] asy-Syanqithi: Adhwa al-Bayan (4/462).

    [68] Asy-Syaukani: Nailul Authar (7/177).

    [69] Kitab Masa`il Imam Ahmad bin Hanbal dengan riwayat anaknya Abdullah (3/1279), masalah no. 1777.

    [70] Ibnu Ibrahim: al-Fatawa (1/163), dikumpulkan oleh Muhammad bin Qasim.

    [71] Realita di tengah masyarakat membuktikan hal itu. Mayoritas penjahat dari kalangan penyihir dan pesulap memisahkan di antara keluarga, memperdaya mereka, dan memakan harta manusia dengan caya yang batil dengan nama ruqyah-ruqyah syar'iyah – tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah I.

    [72] Lajnah Daimah: Fatawa 1/551, pertanyaan no. 4804.

    [73] Ibn Baz: Majmu' Fatawa wa maqalat Bin Baz 7/68.

    [74] Ibnu Utsaimin: al-Majmu' ats-Tsamin 2/133-134, fatwa no. 233.

    [75] Ibnu Utsaimin: al-Majmu' ats-Tsamin 2/131 fatwa no. 230.